Selasa, 27 Desember 2011

ULAMA' jatim


Hadrotus Syekh Hasyim As’ari . Nama ini begitu popular sebagai tokoh pengembang agama Islam di Nusantara. Kh Hasyim As’ari adalah kakek Kh Abdurrahman Wahid presiden Indonesia ke 4 sekaligus pendiri Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, pendiri Nahdhatul Ulama (Organisasi Islam terbesar di Indonesia). Beliau juga berasal dari garis keturunan Sultan Hadiwijaya raja Kerajaan Pajang. Kerajaan ini adalah pecahan dai Kerajaan Mataram Islam. Kh Hasyim As’ari lahir tanggal 10 April 1875 dan wafat tanggal 25 Juli 1947 dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang Jawa Timur.

Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Salasilah keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang kedua yaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahwa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII). Silsilah Kh Hasyim As’ari mulai dari Sunan giri dapat diurutkan sebagai berikut: Ainul Yaqin (Sunan Giri), Abdurrohman (Jaka Tingkir), Abdul Halim (Pangeran Benawa), Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda), Abdul Halim, Abdul Wahid, Abu Sarwan, KH. Asy'ari (Jombang), KH. Hasyim Asy'ari (Jombang)


Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H. Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K.H. Ya’kub tersebut.

Pada tahun 1892, KH Hasyim Asyari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan berguru pada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Mahfudh at-Tarmisi, Syekh Ahmad Amin Al-Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani, Syekh Rahmaullah, Syekh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi. Tepat pada tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Oleh karena kegigihannya dan keikhlasannya dalam menyosialisakan ilmu pengetahuan, dalam beberapa tahun kemudian pesantren relatif ramai dan terkenal.

Kh Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul UlamaTanggal 31 Januari 1926 bersama dengan kyai-kyai lainnya. Organisasi keagamaan ini pun berkembang pesat dan pengaruh Kyai Hasyim Asy'ari juga semakin besar. NU berperan besar bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa. Sebagai orang yang berpandangan luas, Kh Hasim as'ari sangat bersifat toleran terhadap aliran atau pendapat yang berbeda dengan konsep dan pemikirannya. Ini dibuktikan dengan akrabnya beliau dengan Kh Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah.. Ia mengutamakan persatuan dan ukhuwah Islamiyah dengan menghindari perpecahan di tubuh umat ISlam. Pada masa pendudukan Jepang, Kyai Hasyim Asy'ari pernah ditangkap tanpa sebab yang jelas. Namun kemudian ia dibebaskan melalui perjuangan anaknya anaknya, K.H. Wahid Hasyim. Setelah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya K.H. Hasyim Asy’ari membakar semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di Tebuireng.
 
K H Moch Kholil Bangkalan


K H Moch Kholil adalah guru utama yang men­cetak banyak ulama besar di Jawa Timur. Sampai sekarang, meski sudah meninggal, banyak ulama yang mengaku belajar secara gaib dengan Mbah Kholil. Banyak cara dilakukan untuk belajar kitab secara gaib dari ulama tersohor ini. Salah satunya dengan berziarah serta bermalam di makam beliau. Seperti pernah dikisahkan KH. Anwar Siradj, pengasuh PP. Nurul Dholam Bangil Pasuruan. Saat mempelajari kitab Alfiyah, beliau mengalami kesulitan. Padahal kitab yang berupa gramatika Bahasa Arab tersebut, merupakan kunci untuk mendalami kitab-kitab lain.

Kiai Anwar sudah mencoba berguru kepada kiai-kiai besar di hampir semua penjuru Jawa Timur. Tapi hasilnya nihil. Suatu ketika, seperti dikisahkan ustadz Muhammad Salim (santri Nurul Dholam), Kiai Anwar dapat petunjuk, agar mempelajari kitab alfiyah di makam Mbah Kholil. Petunjuk gaib itu pun dilaksanakan. Selama sebulan penuh Kiai Anwar ziarah di makam, Mbah Kholil Bangkalan. Di makam itu dia mempelajari kitab alfiyah. "Akhimya Kiai Anwar bisa menghafal Alfiyah," jelas Ustadz Salim.

Banyak ulama generasi sekarang yang meski tidak pernah ketemu fisik dan bahkan lahirnya jauh sesudah Mbah Kholil meninggal, me­ngakui kalau perintis dakwah di Pulau Madura ini adalah guru mereka. Bukan guru secara fisik, melainkan pembimbing Mbah Kholil sempat menimba Ilmu di Mekah selama belasan tahun. Satu angkatan dengan KH. Hasyim Asy'ari. Selevel di bawahnya, ada KH. Wahab Chasbullah dan KH. Muhammad Dahlan. Ada tradisi di antara kyai sepuh zaman dulu, meski hanya memberi nasihat satu kalimat, tetap dianggap sebagai guru. Demikian juga yang terjadi di antara 4 ulama besar itu. Mereka saling berbagi ilmu pengetahuan, sehingga satu sama lain, saling memanggilnya sebagai tuan guru.

Menurut KH. Muhammad Ghozi Wahib, Mbah Khohil paling dituakan dan dikeramatkan di antara para ulama saat itu. Kekeramatan Mbah Kholil, yang sangat terkenal adalah pasukan lebah gaib. "Dalam situasi kritis, beliau bisa mendatangkan pasukan lebah untuk menyerang musuh. Ini sering beliau perlihatkan semasa perang melawan penjajah. Termasuk saat peristiwa 10 November 1945 di Surabaya," katanya.

Kiai Ghozi menambahkan, dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy'ari, Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu.

Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modem. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar. Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar.

Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan. "Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang senjatanta super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan," papar Kiai Ghozi, cucu KH Wahab Chasbullah ini.

Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. "Tiba-tiba baju dan sarong beliau basah kuyub," cerita Ghozi.

Para santri heran, sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju. Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.

"Kedatangan nelayan itu membuka tabir, temyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu," papar Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani, Ngemplak, Sleman ini.




Mbah Wahab versus Mbah Bisri


Hubungan antara Kyai Wahab Hasbullah dan Kyai Bisri Syansuri pastilah tidak masuk akal bagi manusia-manusia bebal jaman sekarang. Kyai Wahab ahli ushul, sedangkan Kyai Bisri ahli fiqih. Tentu cara pandang keduanya dalam berbagai masalah pun berbeda. Walaupun keduanya beriparan –Kyai Bisri menikahi adik Kyai Wahab, semua riwayat menyatakan bahwa Kyai Wahab dan Kyai Bisri tak pernah sependapat, baik dalam cabang-cabang syari’at maupun politik, sejak masih mondok di Tebuireng sampai menjadi pemimpin-pemimpin besar kaum Nahdliyyin.

Mahrus Husain, sepupu saya, memperoleh riwayat dari kakak iparnya, Kyai Abdul Nashir, dari ayahnya, Kyai Abdul Fattah bin Hasyim bin Idris, keponakan Kyai Wahab Hasbullah sekaligus menantu Kyai Bisri Syansuri, bahwa pada suatu bahtsul masail tentang hukumnya drum band, Kyai Wahab dan Kyai Bisri berdebat begitu kerasnya sampai-sampai Kyai Bisri menggebrak meja. Tak mau kalah, Kyai Wahab pun menggebrak juga, bahkan dengan kaki! Orang-orang ketakutan dan sangat khawatir bahwa Nahdlatul Ulama akan pecah hanya gara-gara hukumnya drum band. Siapa sangka, ketika waktu jeda tiba, keduanya justru berebut melayani satu terhadap yang lain dalam jamuan makan.

Ketika Kyai Wahab menjadi Rais ‘Aam, Kyai Bisri Wakil Rais ‘Aam-nya. Kyai Wahab ngajak keluar dari Masyumi, Kyai Bisri tak setuju. Kyai Wahab ngajak masuk DPRGR, Kyai Bisri juga tak setuju. Tapi ketika keputusan jam’iyyah ditetapkan sesuai pendapat Kyai Wahab, Kyai Bisri tunduk dan tidak memisahkan diri.

Muktamar NU ke-25 di Surabaya, 1971. Kyai Wahab, Sang Rais ‘Aam, sudah sangat sepuh dan dalam keadaan sakit hingga tak mampu bangkit dari pembaringan –beliau akhirnya wafat hanya beberapa hari seusai Muktamar. Suasana Muktamar didominasi oleh kehendak suksesi. Dapat dipastikan seluruh muktamirin tanpa kecuali menginginkan Kyai Bisri tampil sebagai Rais ‘Aam yang baru. Bahkan boleh dikata, beliau sudah menjadi Rais ‘Aam de facto. Muktamar hanya formalitas pengesahan saja.

Siapa sangka, sebelum palu diketuk, Kyai Bisri berdiri dihadapan sidang untuk menyampaikan sikapnya yang tak dapat ditawar oleh siapa pun juga dengan harga apa pun juga:

“Selama masih ada Kyai Wahab, saya hanya bersedia menduduki jabatan dibawah beliau!”

Tidak ada komentar: