Hadrotus Syekh Hasyim As’ari . Nama ini begitu popular
sebagai tokoh pengembang agama Islam di Nusantara. Kh Hasyim As’ari adalah
kakek Kh Abdurrahman Wahid presiden Indonesia ke 4 sekaligus pendiri Pondok
Pesantren Tebu Ireng Jombang, pendiri Nahdhatul Ulama (Organisasi Islam
terbesar di Indonesia). Beliau juga berasal dari garis keturunan Sultan
Hadiwijaya raja Kerajaan Pajang. Kerajaan ini adalah pecahan dai Kerajaan
Mataram Islam. Kh Hasyim As’ari lahir tanggal 10 April 1875 dan wafat tanggal
25 Juli 1947 dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang Jawa
Timur.
Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat
dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Salasilah
keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan
bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang kedua yaitu Brawijaya VI.
Ada yang mengatakan bahwa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari
perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII).
Silsilah Kh Hasyim As’ari mulai dari Sunan giri dapat diurutkan sebagai
berikut: Ainul Yaqin (Sunan Giri), Abdurrohman (Jaka Tingkir), Abdul Halim
(Pangeran Benawa), Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda), Abdul Halim, Abdul
Wahid, Abu Sarwan, KH. Asy'ari (Jombang), KH. Hasyim Asy'ari (Jombang)
Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya
sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama
lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren,
terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban,
Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan
untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H. Ya’kub yang merupaka
kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan
ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia
menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892,
Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K.H. Ya’kub tersebut.
Pada tahun 1892, KH Hasyim Asyari pergi menimba ilmu ke
Mekah, dan berguru pada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Mahfudh
at-Tarmisi, Syekh Ahmad Amin Al-Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani,
Syekh Rahmaullah, Syekh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin
Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi. Tepat pada tanggal 26 Rabi’
Al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok
Pesantren Tebuireng. Oleh karena kegigihannya dan keikhlasannya dalam
menyosialisakan ilmu pengetahuan, dalam beberapa tahun kemudian pesantren
relatif ramai dan terkenal.
Kh Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul UlamaTanggal 31
Januari 1926 bersama dengan kyai-kyai lainnya. Organisasi keagamaan ini pun
berkembang pesat dan pengaruh Kyai Hasyim Asy'ari juga semakin besar. NU
berperan besar bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.
Sebagai orang yang berpandangan luas, Kh Hasim as'ari sangat bersifat toleran
terhadap aliran atau pendapat yang berbeda dengan konsep dan pemikirannya. Ini
dibuktikan dengan akrabnya beliau dengan Kh Ahmad Dahlan sebagai pendiri
Muhammadiyah.. Ia mengutamakan persatuan dan ukhuwah Islamiyah dengan
menghindari perpecahan di tubuh umat ISlam. Pada masa pendudukan Jepang, Kyai
Hasyim Asy'ari pernah ditangkap tanpa sebab yang jelas. Namun kemudian ia
dibebaskan melalui perjuangan anaknya anaknya, K.H. Wahid Hasyim. Setelah
Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya K.H. Hasyim Asy’ari membakar
semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan
kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan
otak dan dimakamkan di Tebuireng.
K H Moch Kholil Bangkalan
K H Moch Kholil adalah guru utama yang mencetak banyak
ulama besar di Jawa Timur. Sampai sekarang, meski sudah meninggal, banyak ulama
yang mengaku belajar secara gaib dengan Mbah Kholil. Banyak cara dilakukan
untuk belajar kitab secara gaib dari ulama tersohor ini. Salah satunya dengan
berziarah serta bermalam di makam beliau. Seperti pernah dikisahkan KH. Anwar
Siradj, pengasuh PP. Nurul Dholam Bangil Pasuruan. Saat mempelajari kitab
Alfiyah, beliau mengalami kesulitan. Padahal kitab yang berupa gramatika Bahasa
Arab tersebut, merupakan kunci untuk mendalami kitab-kitab lain.
Kiai Anwar sudah mencoba berguru kepada kiai-kiai besar di
hampir semua penjuru Jawa Timur. Tapi hasilnya nihil. Suatu ketika, seperti
dikisahkan ustadz Muhammad Salim (santri Nurul Dholam), Kiai Anwar dapat
petunjuk, agar mempelajari kitab alfiyah di makam Mbah Kholil. Petunjuk gaib
itu pun dilaksanakan. Selama sebulan penuh Kiai Anwar ziarah di makam, Mbah
Kholil Bangkalan. Di makam itu dia mempelajari kitab alfiyah. "Akhimya
Kiai Anwar bisa menghafal Alfiyah," jelas Ustadz Salim.
Banyak ulama generasi sekarang yang meski tidak pernah
ketemu fisik dan bahkan lahirnya jauh sesudah Mbah Kholil meninggal, mengakui
kalau perintis dakwah di Pulau Madura ini adalah guru mereka. Bukan guru secara
fisik, melainkan pembimbing Mbah Kholil sempat menimba Ilmu di Mekah selama
belasan tahun. Satu angkatan dengan KH. Hasyim Asy'ari. Selevel di bawahnya,
ada KH. Wahab Chasbullah dan KH. Muhammad Dahlan. Ada tradisi di antara kyai sepuh
zaman dulu, meski hanya memberi nasihat satu kalimat, tetap dianggap sebagai
guru. Demikian juga yang terjadi di antara 4 ulama besar itu. Mereka saling
berbagi ilmu pengetahuan, sehingga satu sama lain, saling memanggilnya sebagai
tuan guru.
Menurut KH. Muhammad Ghozi Wahib, Mbah Khohil paling
dituakan dan dikeramatkan di antara para ulama saat itu. Kekeramatan Mbah
Kholil, yang sangat terkenal adalah pasukan lebah gaib. "Dalam situasi
kritis, beliau bisa mendatangkan pasukan lebah untuk menyerang musuh. Ini
sering beliau perlihatkan semasa perang melawan penjajah. Termasuk saat
peristiwa 10 November 1945 di Surabaya," katanya.
Kiai Ghozi menambahkan, dalam peristiwa 10 November, Mbah
Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy'ari, Wahab
Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan semua kekuatan gaibnya
untuk melawan tentara Sekutu.
Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk
menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modem. Sebutir kerikil atau
jagung pun, di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak
besar. Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan
mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang,
konsentrasi lawan buyar.
Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian
menghantam lawan. "Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita
bisa mengusir tentara lawan yang senjatanta super modern. Tapi sayang, peran
ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan,"
papar Kiai Ghozi, cucu KH Wahab Chasbullah ini.
Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya
membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah
ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah
Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. "Tiba-tiba baju dan
sarong beliau basah kuyub," cerita Ghozi.
Para santri heran, sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau
menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju. Teka-teki itu
baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Mbah Kholil.
Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut,
langsung ditolong Mbah Kholil.
"Kedatangan nelayan itu membuka tabir, temyata saat
memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk
menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam
sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu," papar Ghozi
yang kini tinggal di Wedomartani, Ngemplak, Sleman ini.
Mbah Wahab versus Mbah Bisri
Hubungan antara Kyai Wahab Hasbullah dan Kyai Bisri Syansuri
pastilah tidak masuk akal bagi manusia-manusia bebal jaman sekarang. Kyai Wahab
ahli ushul, sedangkan Kyai Bisri ahli fiqih. Tentu cara pandang keduanya dalam
berbagai masalah pun berbeda. Walaupun keduanya beriparan –Kyai Bisri menikahi
adik Kyai Wahab, semua riwayat menyatakan bahwa Kyai Wahab dan Kyai Bisri tak
pernah sependapat, baik dalam cabang-cabang syari’at maupun politik, sejak
masih mondok di Tebuireng sampai menjadi pemimpin-pemimpin besar kaum
Nahdliyyin.
Mahrus Husain, sepupu saya, memperoleh riwayat dari kakak
iparnya, Kyai Abdul Nashir, dari ayahnya, Kyai Abdul Fattah bin Hasyim bin
Idris, keponakan Kyai Wahab Hasbullah sekaligus menantu Kyai Bisri Syansuri,
bahwa pada suatu bahtsul masail tentang hukumnya drum band, Kyai Wahab dan Kyai
Bisri berdebat begitu kerasnya sampai-sampai Kyai Bisri menggebrak meja. Tak
mau kalah, Kyai Wahab pun menggebrak juga, bahkan dengan kaki! Orang-orang
ketakutan dan sangat khawatir bahwa Nahdlatul Ulama akan pecah hanya gara-gara
hukumnya drum band. Siapa sangka, ketika waktu jeda tiba, keduanya justru
berebut melayani satu terhadap yang lain dalam jamuan makan.
Ketika Kyai Wahab menjadi Rais ‘Aam, Kyai Bisri Wakil Rais
‘Aam-nya. Kyai Wahab ngajak keluar dari Masyumi, Kyai Bisri tak setuju. Kyai
Wahab ngajak masuk DPRGR, Kyai Bisri juga tak setuju. Tapi ketika keputusan
jam’iyyah ditetapkan sesuai pendapat Kyai Wahab, Kyai Bisri tunduk dan tidak
memisahkan diri.
Muktamar NU ke-25 di Surabaya, 1971. Kyai Wahab, Sang Rais
‘Aam, sudah sangat sepuh dan dalam keadaan sakit hingga tak mampu bangkit dari
pembaringan –beliau akhirnya wafat hanya beberapa hari seusai Muktamar. Suasana
Muktamar didominasi oleh kehendak suksesi. Dapat dipastikan seluruh muktamirin
tanpa kecuali menginginkan Kyai Bisri tampil sebagai Rais ‘Aam yang baru.
Bahkan boleh dikata, beliau sudah menjadi Rais ‘Aam de facto. Muktamar hanya
formalitas pengesahan saja.
Siapa sangka, sebelum palu diketuk, Kyai Bisri berdiri
dihadapan sidang untuk menyampaikan sikapnya yang tak dapat ditawar oleh siapa
pun juga dengan harga apa pun juga:
“Selama masih ada Kyai Wahab, saya hanya bersedia menduduki
jabatan dibawah beliau!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar