Rabu, 13 Maret 2013

BERSYUKUR SETIAP SAAT


BERSYUKUR SETIAP SAAT
            Namaku          : M. Yahya Syafruddin
No Peserta ku            : 13-153-007-2
Sekolah           : SMK AL-KAUTSAR

            Dari begitulah bangun pagi di kamar lantai atas sampai turun ke lantai bawah, sudah berapa kali saya mengucapkan terimakasih dan bersyukur?
Mungkin sudah lima kali sampai tujuh kali. Dalam satu hari? Berapa kali saya berterima kasih bersyukur dan dalam hati ? berapa kali saya ucapkan dengan lantang bersuara dengan orang lain? Mungkin bisa 50 sampai 100 kali, bisa jadi lebih , karna tidak saya hitung.
Tidak prakris kebenarannya?  Kok ya aneh mengucapkan terima kasih sampai puluhan kali dan satu hari? Bahkan ratusan kali? Jawabannya mudah saja: denga berterima kasih dan bersyukur, kita sekalu mencari sisi positif dari segala sesuatu. Dengan mencari sisi positif, maka diri kita menjadi semakin positif dalam melihat segala sesuatu. Pasti ada putih setitik di dalam hitam kelam dan ada hitam setitik di dalam putih bersih.
            Dengan selalu mengingat kalimat kita, otak kita mencetak keyakinan (believe) bahwa memang benar kita hidup dalam kelimpahan. Maka, semua perbuatan kita di dasari oleh keyakinan ini, termasuk persepsi diri kita sebagai personifikasi dari sukses. lantas, sampai kapan perlu mengucap terima kasih dan bersyukur berpuluh-puluh kali tersebut? Sepanjang hayat.
Ah, tidak praktis, mungkin ada yang berpendapat demikian. Sekalilagi baha ini tidak mengajarkanuntuk sukses dalam semalam, namun dengan mengubah mindset (pola pikir) maka segala faktor eksternal yang sering menjadi atribut orang sukses akan datang dengan sendirinya bagaikan arus sungai.
Berterima kasih dan bersyukur toh tidak memerlukan modal uang maupun sumber daya apapun. Intinya hanya satu, yakni kemauan keras untuk mengubah diri. Jangan pikirkan “pahala” yang anda dapat dari perbuatan ini dulu. Jangan pula mengharap nasib akan berubah dalam sekejap. Yang jelas, dengan mengucapkan terima kasih kepada orang lain tanpa ada rasa keterpaksaan dan rasa canggung saja sudah merupakan jembatan kita ke alam hati orang itu.
            “Terima Kasih”tidak akan pernah di tolak oleh orang lain, malah biasanya disambut dengan senyum lebar dan hati yang sedikit lebih lembut dari pada sebelumnya. Ini saja sudah merupakan magnit yang bisa membantu kita semua dalam memproyeksikan diri yang sukses keluar. Jadi, jika ada keragu-raguan dan ke-engganan untuk berterima kasih dan bersyukur dalam skala dan frekuensi luar biasa, maka sebaiknya anda urungkan niat anda untuk menjadi personifikasi dari sukses itu sendiri. Amin ...

Selasa, 12 Maret 2013

Sujiwo Tejo: "tak bisa bayangkan Australia perang dengan Indonesia."

Diperbaharui 21 December 2012, 15:26 AEST
Hubungan Indonesia dan Australia tidak lagi tergantung hanya dengan hubungan antar pemerintah di Jakarta dan di Canberra, namun akan lebih tergantung pada hubungan pribadi atau individu-individu yang menjalin persahabatan antar negara, demikian ungkap Sujiwo Tejo, budayawan Indonesia yang baru-baru ini melakukan pementasan di kota Melbourne untuk memperingati 50 tahun ulang tahun kajian Indonesia di Universitas Monash Australia.
Munculnya ahli-ahli yang memahami budaya Indonesia ternyata juga membawa persahabatan di antara warga Australia yang datang ke Indonesia. Pertemuan-pertemuan secara berkala ketika mereka datang ke Indonesia untuk melakukan riset bisa membuahkan persahabatan antara dua bangsa yang berbeda.
“Kalau terjadi perang antara Indonesia dan Australia, saya tidak  membayangkan...sebab banyak sekali sahabat-sahabat saya di sini. Orang Australia yang mengerti tentang Indonesia, ahli ketroprak, Professor Barbara Hartley yang juga ahli Ludruk,” ujar Sujiwo Tejo.
Bahkan, bila berandai-andai akan terjadi perang, Sujiwo Tejo yang sempat berduet dengan pianis jazz Australia, Paul Grabowsky, mengatakan Indonesia akan kalah karena Australia sudah menguasai informasi tentang Indonesia. Banyak sekali pakar Indonesia, katanya, yang tahu isi perut Indonesia.
“Di sini ada yang menguasai budaya kekerasan di Bali dan Paul Thomas yang menguasai penerjemahan Bugis. Sementara kami orang-orang Indonesia mungkin tidak tahu banyak informasi tentang Australia,” tambah Sujiwo Tejo.
Tejo mengaku heran dengan banyaknya mahasiswa-mahasiwa Indonesia yang belajar di Australia hingga jenjang S-3 akan tetapi penelitian yang dilakukan justru mengenai Indonesia, misalnya penelitian tentang NU, atau partai-partai Islam dan demokrasi di Indonesia.  Padahal, menurutnya, bila mahasiswa Indonesia melakukan penelitian tentang Australia tentu akan banyak informasi Australia yang bisa dibawa pulang.
Seharusnya, menurut Sujiwo Tejo, ada keseimbangan antara informasi yang dipunyai Australia dan Indonesia, sebab, di masa depan, siapa yang menguasai informasi maka akan mudah menang dalam kondisi apa pun.
“Saya kaget ternyata ada orang yang meneliti budaya nongkrong dan juga Rhoma Irama. Ini hal kecil, namun mereka mau menelitinya,” ujar Tejo.
Namun Sujiwo Tejo optimis, hubungan antar pribadi yang dijalin lewat peneliti dan seniman antar bangsa akan mengantar hubungan Indonesia dan Australia menuju posisi yang semakin menguat.